TUJUAN SEKOLAH KAMI ADALAH BERTUJUAN UNTUK MENCETAK GENERASI BANGSA YANG BERKUALITAS, BERBUDI LUHUR DAN BERAKLAK TINGGI SERTA PAHAM DAN MENGERTI NILAI NILAI AGAMA KHUSUSNYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT KELAK, DAN PADA UMUMNYA BISA MENCIPTAKAN BANGSA ATAU KEPEMIMPINAN YANG BAIK DAN BERIMAN

www.mtsddikaryabaru.blogspot.com

HATI ADALAH CERMIN KITA

Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Apabila ia buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya ( alaa wahiyal qolbu ) ia adalah hati”.

( HR. Bukhori wa Muslim )



Pada awalnya setiap manusia memiliki sebuah hati yang bersih. Mereka dilahirkan kedunia dengan keadaan suci tanpa membawa suatu dosa. Sebagaimana sabda rasulullah Muhammad saw bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah. Namun seiring dengan berjalananya waktu dan bertambahnya usia manusia, hati mulai dipenuhi oleh berbagai hal yang berasal dari luar, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Apabila hati dipenuhi oleh berbagai hal yang positif maka yang akan muncul dari pribadinya adalah sifat-sifat baik seperti kasih sayang, suka menolong, peduli terhadap sesama dan berbagai tindakan positif lainnya, yang tidak hanya menguntungkan bagi dirinya saja tetapi juga bagi orang di sekitarnya, insyaallah.



Lain halnya jika hati ternodai oleh sifat-sifat buruk, pikiran-pikiran negatif dan lain sebagainya. Tentu hal-hal tercelalah yang akan mendominasi kepribadiannya. Dan ini jelas tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi orang disekitarnya akan merasakan imbas dari perilaku buruknya.

Hati, menurut imam al ghozali dalam kitabnya, ihya ulummudiin, umpama prajurit pemburu. Badan adalah kendaraan (kuda) nya, sedangkan kemarahan dan syahwat adalah anjing-anjingnya. Maka tatkala kuda dan anjing-anjing itu tunduk kepadanya. Tercapailah apa yang ditujunya. Begitu pula tatkala qolbu itu mampu mengendalikan badan, kemarahan, dan syahwat, maka seseorang tersebut telah mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya yaitu ketentraman jiwa yang akan mengantarkannya pada kehidupan bahagia baik di dunia maupun diakhirat.

Masih menurut imam al Ghazali, hati ibarat sebuah cermin yang apabila cermin itu bersih maka akan tampak padanya sifat-sifat manusia. namun, ketika cermin itu tertutup oleh debu atau bahkan telah berkarat, sedangkan tidak ada yang menggosoknya, maka ia tidak akan bisa melihat perbuatannya itu baik atau buruk. Sehingga sulit baginya tuk melakukan perbaikan, karena ia tidak tahu dan sadar akan sikap buruk yang ia lakukan.

Sebaliknya, dengan cermin yang bersih, dengan hati yang bersih kita bisa melihat perbuatan kita, apakah itu baik atau buruk. Hal ini akan mempermudahkan kita tuk melakukan perbaikan setiap saat. Bagaimana caranya? Bisa dengan melakukan introspeksi diri. Dan inilah kiranya cara ampuh tuk menjaga hati agar tetap bersih. Terus apa manfaatnya ketika kita melakukan introspeksi diri? Minimal kita mampu melihat apa kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat dimasa lalu atau yang baru saja terjadi. Hal ini akan menuntun kita untuk senantiasa melakukan perbaikan diri. Sehingga kualitas iman menjadi lebih baik dan bermakna.

Bagaimana dengan cermin yang berkarat? Apa yang bisa kita andalkan dari sebuah cermin yang telah berkarat. Ia tidak lagi memiliki nilai yang lebih. Malah bisa digolongkan sebagai barang rongsokan. Mengapa? Karena memang ia tidak lagi berfungsi baik sebagai sebuah cermin yang digunakan tuk bercermin. Jika hati manusia seperti cermin berkarat, yang tidak bisa digunakan untuk berinstrospeksi tentu akan susah baginya untuk mengidentifikasi apakah perbuatannya itu Benar ataukah salah.

Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw, “sesungguhnya hati itu berkarat seperti besi yang berkarat”. Ketika seorang sahabat bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Beliau menjawab, “Mengingat mati dan membaca Al Qur’an”

Untuk bisa melewati syirat, seorang manusia membutuhkan modal dasar untuk melangkah menuju surga. Dan modal dasar itu tak lain adalah Qolbu. Qolbu atau hati yang bersih dan suci menjadikan sang pemiliknya melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Segala ibadah yang dilakukannya semata-mata untuk mengharapkan ridho Allah ta’ala. pikirannya jauh dari prasangka-prasangka buruk terhadap Tuhannya. Saat beribadah, ia selalu merasa bahwa Allah senantiasa mengawasinya, sehingga ia akan dengan sepenuh hati menjaga kualitas ibadahnya.

Rasulullah bertanya pada para sahabat, “Apakah yang dimaksud dengan ihsan?” rasulullah menjawab, “ Beribadahlah kepada Allah azza wa Jalla seakan-akan engkau melihatNya dan seandainya engkau tidak dapat melihatNya engkau yakin bahwa Dia melihatmu. (HR. Bukhori dan Muslim)

Sebuah syair yang indah dari Yahya bin Muadz Ar Razi ra. Menggambarkan tentang betapa besarnya peranan hati terkadap kehidupan manusia.

Beliau bersyair:

“ Padang di dunia ditempuh dengan jalan kaki dan padang di akhirat di tempuh dengan hati.”

“ Barang siapa yang memusatkan hatinya kepada Allah, niscaya akan terbukalah sumber-sumber hikmah dalam hatinya dan mengalir melalui lisannya”

Demikianlah bagaimana Allah menciptakan segumpak darah (hati) dan menaruhnya di dalam dada manusia agar manusia benar-benar menjaganya. Karena ia adalah kunci pembuka pintu surga.

Sebagaimana syair diatas, bahwa perjalanan ke akhirat pun harus ditempuh dengan hati tidak bisa dengan hanya bermodalkan dua kaki yang kecil. Tujuan yang besar harus ditempuh dengan modal yang besar pula. Yaitu dengan menjaga hati agar tetap bersih, tidak tercampur dengan noda-noda maksiat.

Semoga Allah senantiasa mengaruniakan hati yang senantiasa bersih dan memberikan kekuatan sabar pada diri kita agar bisa melawan hawa nafsu yang senantiasa berkecamuk dalam hati. Aamiin....

RENUNGAN QALBU



...Sebuah perenungan yang mendalam dari dasar qolbu yang bercahaya...

Nurani berasal dari bahasa Arab nur, artinya cahaya, kemudian menjadi nuraniyyun yang artinya bersifat cahaya. Dalam bahasa Indonesia, nurani digunakan untuk menyebut lubuk hati yang terdalam, disebut juga kata hati atau hati 
nurani. Jika seorang pencuri membunuh petugas ronda atau hansip yang memergokinya, disebut penjahat, maka pencuri yang memperkosa wanita didepan anaknya dan suaminya yang tak berdaya setelah dilukainya seperti yang baru-baru ini terjadi di Manggarai, pen­curi tersebut bukan hanya penjahat, tetapi lebih dari itu disebut telah tidak lagi memiliki nurani.

Orang yang berbohong, kemudian tersipu-sipu ketika ter­bongkar kebohongannya, maka dia adalah pembohong biasa. Tetapi seorang tokoh yang berbohong dan kebohongannya sudah terbongkar di depan publik secara luas, kemudian ia masih bisa tampil dengan percaya diri, maka ia bukan saja pembohong, tetapi pembohong yang sudah tak bernurani.

Nurani merupakan subsistem kejiwaan manusia. Menurut Al Qur'an, manusia dianugerahi akal untuk berfikir dan memecahkan masalah, dianugerahi hati untuk memahami realitas 

(Q/22:46) : "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.,

dianugerahi syahwat untuk menggerakkan tingkahlaku 
(Q/3:14) : "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia 
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).,"

dan dianugerahi nurani untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan untuk introspeksi terhadap apa yang ada dalam jiwanya (

Q/75:14-15) : "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya 
sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya." .

Jika hati manusia masih bisa diajak kompromi, membantah, mengingkari, mencabut pernyataan dan mencari-cari alasan pembenar, hal itu memang sesuai dengan tabiat hati tersebut. Dalam Al Qur'an, hati disebut dengan nama qalb yang mempunyai arti bolak-balik.

Ungkapan bahasa Arab berbunyi; summiyat al qalbu qalban litaqallubihi artinya hati dinamakan qalbu adalah karena tabiatnya yang bolak balik. Jadi hati (qalb) memang memiliki tabiat tidak konsisten, suka berdalih dan mencari-cari alasan pembenar.

Nurani bagaikan kotak hitam (black box) di dalam hati, sebagai sub sistem yang bekerja secara konsisten ter­hadap kebenaran dan kejujuran. Hati boleh mencari-cari dalih pembenar, akal boleh membuat rumusan yang logis membenarkan dirinya, tetapi nurani tetap konsisten membisikkan bahwa 
yang salah tetap salah, dan yang benar tetap benar. Dalam Al Qur'an, nurani disebut dengan nama bashirah, (Q/75;14-15) yang mengandung arti pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Bagi orang yang nuraninya sehat, pandangan mata hatinya lebih tajam menembus dimensi ruang dan waktu, berbeda dengan mata kepala yang sangat terbatas jangkauan pan­dangannya. Bagi orang yang mata hatinya buta, maka ketajaman penglihatan mata kepala tidak banyak membantu menemukan kebenaran (Q/22:46).

Menurut seorang ulama klasik, Ibn al Qayyim al Jauzi, bashirah atau nurani adalah cahaya yang ditem­patkan oleh Allah di dalam hati setiap manusia; nurun yaqdzi­fuhullah fi al qalbi. Oleh karena itu nurani bisa menjadi hotline manu­sia dengan Tuhannya.

Cahaya ini pula yang menyebabkan manusia rindu kepada Tuhan, yang menyebabkan manusia bisa menangis ketika berdoa, yang menyebabkan manusia tak terkecoh oleh godaan rendah harta duniawi dan sebaliknya bisa melihat dengan jelas tingginya 
nilai keutamaan kebajikan yang bersifat ukhrawi.

Jiwa manusia merupakan kesatuan sistem, oleh karena itu berfungsinya nurani juga bisa disebut sebagai sehat­nya hati (qalbun salim) atau seperti yang dikatakan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsir al Kabir, sebagai akal yang prima (al `aql as salim).

Mengapa hati nurani bisa mati ?

Al Qur'an mengingatkan bahwa Allah telah menye­diakan hukuman neraka Jahannam bagi manusia dan jin, yakni mereka yang mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (kebenaran), mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk 
melihat (kebenaran) dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka tak ubahnya binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai (

Q/7;179) :"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka 
Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."

Imam Gazali memisalkan hati nurani dengan kaca cermin. Bagi orang yang bersih dari dosa, maka nurani­nya bagaikan cermin yang bening, sekecil apapun noda di wajah, segera akan nampak di cerminnya. Adapun orang yang suka melakukan dosa 
kecil, maka nuraninya bagaikan cermin yang terkena debu. Ia bisa menggambarkan wajah, tetapi noda-noda kecil tidak nampak. Sedangkan orang yang biasa melakukan dosa besar, 
maka nuraninya gelap, seperti cermin yang tersiram cat hitam.

Hanya sebagian kecil dari cerminnya yang bisa digunakan untuk bercermin, oleh karena itu pelaku dosa besar tidak pernah merasa dirinya bersalah, karena cermin hatinya tidak bisa menampakkan apa-apa. Selanjut­nya Al Ghazali me­misalkan 
nurani orang yang mencampuraduk perbuatan baik dan perbuatan dosa dengan cermin yang retak.

Cermin yang retak tidak bisa menggambarkan wajah secara benar, hidung bisa nampak dua, mata menjadi empat, mulut menjadi menceng dan sebagainya, sehingga orang yang seperti itu selalu kacau dalam memandang kebenaran dan kesalahan, tidak bisa obyektif dan biasanya memiliki kepribadian yang pecah (split personality).

Bagaimana caranya menghidupkan nurani?

secara umum jawabannya adalah menjauhi perbuatan dosa, baik dosa kepada Tuhan maupun dosa kepada manusia, karena perbuatan dosa merupakan daki yang mengotori cermin hati. Secara lebih spesifik, sebagai terapi, berdoa di tempat suci , ­di Multazam misalnya­ juga dapat menjadi shock therapy terhadap hati nurani. 

Mengapa di Ka`bah banyak orang bisa menangis tersedu-sedu, karena disana ia tidak bisa tidak kecuali harus jujur kepada Tuhan. Di sana terbayang semua kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sedikitpun bisa mencari-cari alasan pembenar.

Jika psikologi schok therapy ini berhasil dipertahan­kan lama, maka selanjutnya nuraninya akan hidup, dan itulah yang disebut haji mabrur. Berakrab-akrab dengan problem kemanusiaan juga bisa menajamkan nurani. Orang yang selalu 
bergelut langsung membantu kesulitan orang kecil, rakyat kebanyakan, maka nuraninya sedikit demi sedikit akan bercahaya. Hatinya menjadi lembut, rasa syukurnya meningkat. Ia akan memiliki kepekaan yang kuat terhadap hal-hal yang 
berdampak buruk kepada kehidupan riil manusia.

Apa hubungannya dengan menghidupkan nurani? Sudah barang tentu ada hubungannya, karena orang kecil relatif jujur, maka menyayangi orang kecil bermakna menggosok-gosok kejujuran, dan hal itu mendatang­kan rahmat Tuhan. Sayangilah yang di bumi, niscaya kalian akan disayang Tuhan, irhamu 
man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Demikian firman Allah dalam hadis qudsiy.



DATA PERSONIL MADRASAH