RENUNGAN QALBU
...Sebuah perenungan yang mendalam dari dasar qolbu yang bercahaya...
Nurani berasal dari bahasa Arab nur, artinya cahaya, kemudian menjadi nuraniyyun yang artinya bersifat cahaya. Dalam bahasa Indonesia, nurani digunakan untuk menyebut lubuk hati yang terdalam, disebut juga kata hati atau hati
nurani. Jika seorang pencuri membunuh petugas ronda atau hansip yang memergokinya, disebut penjahat, maka pencuri yang memperkosa wanita didepan anaknya dan suaminya yang tak berdaya setelah dilukainya seperti yang baru-baru ini terjadi di Manggarai, pencuri tersebut bukan hanya penjahat, tetapi lebih dari itu disebut telah tidak lagi memiliki nurani.
Orang yang berbohong, kemudian tersipu-sipu ketika terbongkar kebohongannya, maka dia adalah pembohong biasa. Tetapi seorang tokoh yang berbohong dan kebohongannya sudah terbongkar di depan publik secara luas, kemudian ia masih bisa tampil dengan percaya diri, maka ia bukan saja pembohong, tetapi pembohong yang sudah tak bernurani.
Nurani merupakan subsistem kejiwaan manusia. Menurut Al Qur'an, manusia dianugerahi akal untuk berfikir dan memecahkan masalah, dianugerahi hati untuk memahami realitas
(Q/22:46) : "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.,
dianugerahi syahwat untuk menggerakkan tingkahlaku
(Q/3:14) : "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).,"
dan dianugerahi nurani untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan untuk introspeksi terhadap apa yang ada dalam jiwanya (
Q/75:14-15) : "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya." .
Jika hati manusia masih bisa diajak kompromi, membantah, mengingkari, mencabut pernyataan dan mencari-cari alasan pembenar, hal itu memang sesuai dengan tabiat hati tersebut. Dalam Al Qur'an, hati disebut dengan nama qalb yang mempunyai arti bolak-balik.
Ungkapan bahasa Arab berbunyi; summiyat al qalbu qalban litaqallubihi artinya hati dinamakan qalbu adalah karena tabiatnya yang bolak balik. Jadi hati (qalb) memang memiliki tabiat tidak konsisten, suka berdalih dan mencari-cari alasan pembenar.
Nurani bagaikan kotak hitam (black box) di dalam hati, sebagai sub sistem yang bekerja secara konsisten terhadap kebenaran dan kejujuran. Hati boleh mencari-cari dalih pembenar, akal boleh membuat rumusan yang logis membenarkan dirinya, tetapi nurani tetap konsisten membisikkan bahwa
yang salah tetap salah, dan yang benar tetap benar. Dalam Al Qur'an, nurani disebut dengan nama bashirah, (Q/75;14-15) yang mengandung arti pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Bagi orang yang nuraninya sehat, pandangan mata hatinya lebih tajam menembus dimensi ruang dan waktu, berbeda dengan mata kepala yang sangat terbatas jangkauan pandangannya. Bagi orang yang mata hatinya buta, maka ketajaman penglihatan mata kepala tidak banyak membantu menemukan kebenaran (Q/22:46).
Menurut seorang ulama klasik, Ibn al Qayyim al Jauzi, bashirah atau nurani adalah cahaya yang ditempatkan oleh Allah di dalam hati setiap manusia; nurun yaqdzifuhullah fi al qalbi. Oleh karena itu nurani bisa menjadi hotline manusia dengan Tuhannya.
Cahaya ini pula yang menyebabkan manusia rindu kepada Tuhan, yang menyebabkan manusia bisa menangis ketika berdoa, yang menyebabkan manusia tak terkecoh oleh godaan rendah harta duniawi dan sebaliknya bisa melihat dengan jelas tingginya
nilai keutamaan kebajikan yang bersifat ukhrawi.
Jiwa manusia merupakan kesatuan sistem, oleh karena itu berfungsinya nurani juga bisa disebut sebagai sehatnya hati (qalbun salim) atau seperti yang dikatakan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsir al Kabir, sebagai akal yang prima (al `aql as salim).
Mengapa hati nurani bisa mati ?
Al Qur'an mengingatkan bahwa Allah telah menyediakan hukuman neraka Jahannam bagi manusia dan jin, yakni mereka yang mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (kebenaran), mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk
melihat (kebenaran) dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka tak ubahnya binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai (
Q/7;179) :"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Imam Gazali memisalkan hati nurani dengan kaca cermin. Bagi orang yang bersih dari dosa, maka nuraninya bagaikan cermin yang bening, sekecil apapun noda di wajah, segera akan nampak di cerminnya. Adapun orang yang suka melakukan dosa
kecil, maka nuraninya bagaikan cermin yang terkena debu. Ia bisa menggambarkan wajah, tetapi noda-noda kecil tidak nampak. Sedangkan orang yang biasa melakukan dosa besar,
maka nuraninya gelap, seperti cermin yang tersiram cat hitam.
Hanya sebagian kecil dari cerminnya yang bisa digunakan untuk bercermin, oleh karena itu pelaku dosa besar tidak pernah merasa dirinya bersalah, karena cermin hatinya tidak bisa menampakkan apa-apa. Selanjutnya Al Ghazali memisalkan
nurani orang yang mencampuraduk perbuatan baik dan perbuatan dosa dengan cermin yang retak.
Cermin yang retak tidak bisa menggambarkan wajah secara benar, hidung bisa nampak dua, mata menjadi empat, mulut menjadi menceng dan sebagainya, sehingga orang yang seperti itu selalu kacau dalam memandang kebenaran dan kesalahan, tidak bisa obyektif dan biasanya memiliki kepribadian yang pecah (split personality).
Bagaimana caranya menghidupkan nurani?
secara umum jawabannya adalah menjauhi perbuatan dosa, baik dosa kepada Tuhan maupun dosa kepada manusia, karena perbuatan dosa merupakan daki yang mengotori cermin hati. Secara lebih spesifik, sebagai terapi, berdoa di tempat suci , di Multazam misalnya juga dapat menjadi shock therapy terhadap hati nurani.
Mengapa di Ka`bah banyak orang bisa menangis tersedu-sedu, karena disana ia tidak bisa tidak kecuali harus jujur kepada Tuhan. Di sana terbayang semua kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sedikitpun bisa mencari-cari alasan pembenar.
Jika psikologi schok therapy ini berhasil dipertahankan lama, maka selanjutnya nuraninya akan hidup, dan itulah yang disebut haji mabrur. Berakrab-akrab dengan problem kemanusiaan juga bisa menajamkan nurani. Orang yang selalu
bergelut langsung membantu kesulitan orang kecil, rakyat kebanyakan, maka nuraninya sedikit demi sedikit akan bercahaya. Hatinya menjadi lembut, rasa syukurnya meningkat. Ia akan memiliki kepekaan yang kuat terhadap hal-hal yang
berdampak buruk kepada kehidupan riil manusia.
Apa hubungannya dengan menghidupkan nurani? Sudah barang tentu ada hubungannya, karena orang kecil relatif jujur, maka menyayangi orang kecil bermakna menggosok-gosok kejujuran, dan hal itu mendatangkan rahmat Tuhan. Sayangilah yang di bumi, niscaya kalian akan disayang Tuhan, irhamu
man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Demikian firman Allah dalam hadis qudsiy.
RENUNGAN QALBU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar